Sabtu, 26 Mei 2012

Analisis Mantra Suku Tolaki

MENGANALISIS MANTRA SUKU TOLAKI 
”TANGGAWUKU (KETAHANAN TUBUH)” 
INTERPRETASI SEMIOTIK RIFFATERRE 



FITRI YUNITA MARANAY
A2D1 09031
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN 
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 
2011 


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………… (ii)
BAB I LATAR BELAKANG…………………………………………………… 1 
1.1 Rumusan Masalah……………………………………………………… 2
 1.2 Tujuan Analisis………………………………………………………… 2
 1.3 Manfaat Analisis……………………………………………………….. 2 
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………….. 3
 2.1 Pembahasan Mantra………………………………………………………….. 3
 2.2 Teori Semiotik……………………………………………………………….. 5 
BAB III MENGANALISIS MANTRA........……………………………………. 9 
 BAB IV 
Penutup………………………………………………………………..... 12 Catatan…...………………………………………………………………………. 12 Saran……………………………………………………………………………... 12 
DAFTAR PUSTAKA (i)

KATA PENGANTAR 
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga analisis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Analisis yang berjudul Mantra Kesehatan dan Kekuatan Tubuh Suku Tolaki: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Tak lupa juga saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Sastra Daerah. Tentunya dalam penyusunan makalah ini masih mempunyai banyak kesalahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan agar dalam menganalisis selanjutnya lebih baik lagi. Segala saran dan masukan sangat saya harapkan. Saya ucapkan terimakasih 

BAB 1 PENDAHULUAN 
1.1. Latar Belakang Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional, mantra bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawang atau dukun yang ingin menghilangkan atau menyembuhkan penyakit misalnya, dilakukan dengan membacakan mantra. Berbagai kegiatan yang dilakukan terutama yang berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan pembacaan mantra. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa terdapat suatu kepercayaan di tengah mereka tentang suatu berkahi yang dapat ditimbulkan dengan pembacaan suatu mantra tertentu. Mereka sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari sebuah usaha untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu, keberadaan mantra menjadi penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya, mantra ada karena ada masyarakat pewarisnya. Masyarakat sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari usaha untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Lahirnya mantra di tengah masyarakat merupakan perwujudan suatu keyakinan atau kepercayaan. Kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan gaib yang mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu bentuk genre puisi lama, mantra timbul dari suatu hasil imajinasi masyarakat dalam alam kepercayaan animisme. Masyarakat percaya akan adanya hantu, jin, setan, dan benda-benda keramat dan sakti. Hantu, jin, dan setan dalam anggapan mereka ada yang jahat dan selalu mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang sifatnya baik. Mahluk gaib yang bersifat baik tersebut justru dapat membantu kegiatan manusia, seperti berburu, bertani, menangkap ikan, dan lain sebagainya. Hal tersebut hanya dapat terjadi apabila manusia menguasai mantra tertentu. Artinya, pembacaan suatu mantra tertentu dapat menimbulkan pengaruh magis (Lihat Hooykaas , 1952: 20). Mantra sebagai jenis sastra lisan yang diyakini memiliki pengaruh magis pastilah penyebarannya dilakukan secara tertutup dari generasi ke generasi. Kenyataan itu sudah menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa mantra adalah bagian dari tradisi lisan. Badudu (1984: 5) mengatakan bahwa mantra adalah puisi tertua di Indonesia 1 yang penyebarannya berlangsung secara lisan dan ketat. Setiap kelompok masyarakat tentu memiliki tradisi dan sastra lisan. Demikian pula dengan kelompok masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Namun dikalangan masyarakat suku Tolaki mantra tidak begitu popular lagi, hal ini dikarenakan oleh pengaruh kehidupan yang semakin modern, sehingga sebagian besar masyarakat tidak begitu percaya terhadap mantra. 1.2 Rumusan Masalah Pentingnya melakukan analisis terhadap mantra Kekuatan Tubuh dalam masyarakat suku Tolaki tersebut yaitu: 1) Bagaimana kandungan makna mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik? 2) Bagaimana matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki? 3) Bagaimana hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain? 1.3 Tujuan analisis Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan analisis ini adalah sebagai berikut. 1) Mengungkap makna yang terkandung pada mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik. 2) Mengungkap matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. 3) Mencari dan menemukan hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain. 1.4 Manfaat Analisis Hasil analisis ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pembaca, khususnya pembaca di bidang sastra, berupa pemahaman mengenai kandungan makna mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki, dan hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain. 

BAB II LANDASAN TEORI 
 2.1 Pembahasan Mantra Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001). Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut orang Melayu, pemacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Mantra adalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu "menciptakan perubahan" (misalnya perubahan spiritual). Jenis dan kegunaan mantra berbeda-beda tergantung mahzab dan filsafat yang terkait dengan mantra tersebut. Mantra (Dewanagari: मन्त्र; IAST: mantra) berasal dari tradisi Weda di India, kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi Hindu dan praktik sehari-hari dalam agama Buddha, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai gerakan spiritual yang berdasarkan (atau cabang dari) berbagai praktik dalam tradisi dan agama ketimuran. Khanna (2003: hal. 21) menyatakan hubungan mantra dan yanra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut: Mantra juga dikenal masyarakat indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud baik maupun maksud kurang baik). Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki mantra, biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing. 3 Jenis-Jenis Mantra Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: 1) Mantra untuk pengobatan; 2) Mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri; 3) Mantra untuk kejahatan 4) Mantra untuk pekerjaan; dan 5) Mantra adat-istiadat. Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka. Pada dasarnya, mantra terdiri atas beberapa macam berdasarkan jenis dan fungsinya. Di antaranya, mantra bercocok tanam, mantra pengasih, mantra melaut, dan lain sebagainya. Mantra jenis apa pun diyakini memiliki fungsi tersendiri sesuai dengan keyakinan pemakainya. Mantra bercocok tanam misalnya, mantra ini digunakan dalam kaitannya dengan kegiatan bercocok tanam. Demikian pula halnya dengan mantra melaut. Mantra ini digunakan khusus ketika sedang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan melaut. Ratna mengatakan bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya bahkan dengan mahluk di luar dirinya sebagai manusia (2006: 97). 

2.2. Teori Semiotik 
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ferdinand de Saussure dikutip Piliang (2003: 256) mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Zaidan, 2002: 22). Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan himpunan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839–1914 ) dan Ferdinand de Saussure (1857–1813) mengemukakan beberapa pendapat mereka mengenai semiotik. Saussure menampilkan semiotik dengan membawa latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi, sedangkan Peirce menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotik. Peirce mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah (Lihat Zoest, 1993: 1–2). Dalam menganalisis mantra ini, konsep semiotik yang akan digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotik yang dikembangkan oleh Riffaterre, Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut: a. Ketidaklangsungan Ekspresi Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak 5 langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis (hubungan langsung antara kata dengan objek). b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004: 234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2005: 137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993 :126) dapat diringkas sebagai berikut. 1) Membaca untuk arti biasa. 2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. 3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. 4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks. 6 c. Matriks dan Model Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. d. Hubungan Intertekstual Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Mantra “Tanggawuku” suku Tolaki misalnya, mantra ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya. Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. 7 Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus. Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983: 65). Sebagai contoh, berikut adalah sebuah mantra melaut suku Bajo yang secara intertekstual memiliki hubungan dengan hadits nabi Muhammad SAW. Bismillahirrahmanirrahim Kiraman kapiyaman katebina 3x Mantra di atas menghendaki suatu pengulangan bunyi (kalimat) sebanyak tiga kali. Hal itu menunjukkan adanya suatu kesejajaran isi dengan sebuah hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk mengistimewakan angka-angka ganjil (tidak genap) seperti angka satu, tiga, dan tujuh. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan. Dengan bertolak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat memahami hakikat makna dari “Tanggawuku” suku Tolaki, perlu dilakukan interpretasi semiotik. 

BAB III ANALISIS MANTRA INTERPRETASI SEMIOTIK RIFFATERRE 
 3.1 Mantra Ketahanan Tubuh: “Tanggawuku” Bismillahirrahmanirrahim Nabihaluru nabihelere Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi-poindi’anggu Nabi Muhammad 1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik Mantra ini merupakan mantra yang digunakan untuk membuat tulang kuat agar tidak mudah lelah. Mantra ini dilafazkan dalam rangka untuk meminta kesehatan badan dalam beraktivitas sehari-hari. Seperti pada umumnya, mantra ini pun dimulai dengan basmalah. Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pengguna mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Larik pertama, Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Nabihaluru nabihelere pada larik ini memiliki dua makna yang berbeda. Nabihaluru yang berati “nabiku”. Nabi yang dimaksud adalah nabi Muhammad, yang menjadi teladanku. Nabihelere berarti “nabimu”. Kata dalam bahasa Arab adalah sebutan untuk orang yang menjadi pilihan Allah SWT untuk menerima wahyunya. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Tolaki dan digunakan dalam penggunaan mantra. Dalam bahasa Inggris, kata nabi sepadan dengan kata prophet. Kata patonggopa berarti “empat bagian”. Kata owuta berarti “tanah”, tanah merupakan permukaan bumi. Patonggopa pada larik keempat sama artinya pada larik ketiga yaitu “empat bagian”. Wotolu yang berarti “tubuh”, tubuh adalah keseluruhan jasad 9 manusia atau binatang dari ujung kaki sampai ujung rambut. Iwoi yang berarti air, yang menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Dumagai’aku pada kata ini terdiri dari dua kata yang berbeda makna, dumagai berarti “yang menjaga”, dan aku berarti saya. Nggo yang berarti “akan”. Meokanggona berarti “disetiap capekku”. Pehere-here’anggu berarti “tempatku bersandar”. Ombu ta’ala yaitu Allah SWT, Allah ta’ala adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa atau Maha Perkasa penguasa jagat raya ini. Kata pepoi-poindi’anggu berarti “tempatku berpegang”. Nabi Muhammad yang berarti “Rasulullah SAW” yang ditugaskan oleh Tuhan untuk menyampaikan ajaran agama Islam. b. Pembacaan Hermeneutik Mantra di atas sesungguhnya sudah mengimplikasikan keinginanan si pembaca mantra untuk memperoleh pertolongan dari Tuhan. Pertolongan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah berupa kesehatan tubuh dan tubuh yang kuat. Mantra ini juga menggambarkan sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan Muhammad SAW sebagai rasul yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia. Gambaran mengenai sikap penyerahan diri kepada Tuhan terdapat pada larik kedua mantra, yaitu pehere-here’anggu Allah ta’ala. Kalimat ini mengimplikasikan kepada Allah SWT sebagai tempat bersandar diri memohon pertolongan dan perlindungan, Nabi Muhammad sebagai teladan dan pedoman hidup bagi umat manusia. Semua yang terjadi di dunia adalah karena kehendak-Nya. Allah taala adalah pencipta seluruh jagad alam dan yang berhak untuk menentukan segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Kepada-Nyalah semua makhluk harus tunduk dan taat dengan segala perintah dan larangan-Nya, dan memohon perlindungan serta kesehatan jasmani dan rohani. Jiwa dan raga ini adalah milik-Nya, kapanpun Dia dapat membuatnya sakit dan kapanpun dapat mengambilnya. Nabihuluru nabihelere mengimplikasikan pada nabiku nabimu adalah sama. Muhammad dalam hal ini adalah sebuah simbol kekuatan. 2) Matriks dan Model Isi mantra ini mencitrakan hubungan kedekatan manusia dengan Sang Pencipta yang secara eksplisit disebutkan di dalam mantra. Seperti halnya makhluk lainnya yang selalu mempunyai hubungan kedekatan seperti itu. Kata Allah Taala yang dijumpai pada mantra ini 10 pada larik keenam mengimplikasikan bahwa pembaca mantra menyadari sepenuhnya posisinya di hadapan Tuhan. Kata ini kemudian melahirkan kalimat puitis, seperti pehere-here’anggu Allah taala. Kalimat pehere-here’anggu Allah taala menjadi model pertama dari mantra ini. Model kedua dalam mantra ini adalah pepoi-poindi’anggu Nabi Muhammad. Kalimat ini memiliki kekuatan puitis yang sama dengan model pertama. Kalimat ini juga bersandar pada wacana religius keislaman yang memperlihatkan hubungan kedekatan antara pembaca mantra dengan Muhammad sebagai imamnya. 3) Hubungan Intertekstual Secara spiritual Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Alif Lamm Miim. Namun, para sufi memahaminya dalam empat hal, yaitu (1) dzat, yang bukan berawal dan berakhir, bukan rupa, bukan warna, bukan wujud, bukan materi, keadaan yang tenang, tentram, dan damai; (2) sifat, sifat dinamis dari Tuhan yang Maha Bijaksana, adil, dan pengasih dan penyayang; (3) Asma, nama Tuhan yang baik-baik, seperti Allah Ta’ala, Yehueh, Deo, dan God; dan (4) Afngal, hadirnya nasib dan takdir baik dan buruk. Walaupun dzat, sifat, asma, dan afngal dapat dibedakan menurut pengertiannya, tetapi keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Utomo, 1997: 39). Dzat meliputi sifat, sifat menyertai asma, dan asma menandai afngal. Pemahaman tentang Tuhan yang demikian itu oleh manusia menjadi hidup yang dinamis. Tuhan dipandang sebagai pemilik atas segala yang berwujud dan tidak berwujud karena Tuhan-lah yang menciptakan atas semua itu. Kesadaran terhadap Tuhan tampaknya tercermin melalui kalimat pehere-here’anggu Allah ta’ala yang terdapat pada mantra di atas. Hal ini menyarankan pada pemahaman bahwa masyarakat suku Tolaki sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan pulalah yang menentukan sehat dan sakitnya manusia. Manusia boleh berusaha, boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap berada pada kehendak Tuhan. Tampaknya juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan melihat teks mantra di atas. Kata Allah Taala “Allah SWT” dan Muhammad “Nabi Muhammad SAW” menjadi petunjuk terhadap paham Islam yang diyakini dalam lingkup masyarakat itu. Mantra di atas menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk memohon pertolongan dan rahmat dari Tuhan dan Rasulnya. Kalimat 11 pepoi-ppoindi’anggu Nabi Muhammad mengimplikasikan pada suatu kepercayaan akan keberadaan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam kitab suci Al-Quran dikatakan bahwa Muhammad SAW diibaratkan sebagai sosok yang telah memberikan penerangan bagi kehidupan ummat manusia yang berada dalam kegelapan. Beliau adalah pembawa cahaya dan petunjuk untuk jalan yang lurus. Percaya pada keberadaan Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang ketiga dalam Islam. Rasulullah adalah pembawa ajaran agama Islam. Atas dasar prinsip paham tersebut, maka masyarakat suku Tolaki menganggap bahwa Muhammad sebagai tokoh agama memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan dengan manusia yang lain. Menurut Thohir (2006: 41), hubungan antara manusia dengan tokoh-tokoh agama adalah hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi sosial. Pada dimensi keagamaan, hubungan itu dikukuhkan oleh paham-paham keagamaan yaitu konsep derajat manusia atas dasar ketaqwaan dan konsep tawasul (mediasi). Pada dimensi sosial, orang-orang suci direfresentasikan kepada nabi, wali, sampai kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan Tuhannya, oleh karena itu mereka lebih didengar dan dikabulkan doanya. Logika “keagamaan” ini menjadi alasan bagi manusia untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi sebagai mutawasul (mediator) dalam menyampaikan permohonannya kepada Tuhan. 12 Catatan: • Pada umumnya, pembacaan mantra selalu mangandung dua unsur pokok. Kedua unsur itu adalah ritual dan magic. Ritual merupakan tindakan atau usaha yang dilakukan oleh manusia untuk “meminta” kepada “Sang Penguasa”, sedangkan magic lebih bersifat “memerintah”. • Nonsense adalah “kata-kata” yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense itu untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib, dan dunia yang bersifat mistik (Pradopo, 2005: 128). • Nabi Iler, Nabi Ler, dan Nabi Iser adalah tiga nabi bersaudara yang diyakini dalam lingkungan masyarakat suku Bajo sebagai nabi yang memiliki kekuasaan di dalam laut. Ketiganya dipercaya dapat mendatangkan dan menghentikan badai di laut. • Bhatata adalah salah satu pelengkap mantra yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Lalole, Sulawesi Tenggara. Tujuannya adalah untuk menambah kekuatan gaib sebuah mantra. Biasanya digunakan sebelum atau sesudah pembacaan mantra. • Sejenis alat penangkap ikan sejenis bubu yang dipasang di tengah laut. Bentuknya lebih besar dibandingkan dengan bubu sehingga memungkinkan menjerat ikan dengan jumlah yang banyak. • Ritual ialah tindakan atau prilaku manusia yang dilakukan dalam rangka berkomunikasi dengan alam gaib atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Ritual memiliki fungsi psikologis, sosial, dan perlindungan. Saran Sebagai umat yang beragama dalam penggunaan mantra haruslah yang bermakna religius, yang menyertakan nama Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW agar kita tidak melakukan hal yang musyrik (menyekutukan Allah). Dan juga tidak menggunakan mantra untuk kejahatan dalam memenuhi keinginan atau menyakiti bahkan membunuh orang lain (pelet). 

DAFTAR PUSTAKA 
Alwi, Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka. Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”. 
Rusyana, Yus dan Raksanegara, Ami. 1978. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhan, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar