Sabtu, 26 Mei 2012

Analisis Mantra Suku Tolaki

MENGANALISIS MANTRA SUKU TOLAKI 
”TANGGAWUKU (KETAHANAN TUBUH)” 
INTERPRETASI SEMIOTIK RIFFATERRE 



FITRI YUNITA MARANAY
A2D1 09031
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN 
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 
2011 


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………… (ii)
BAB I LATAR BELAKANG…………………………………………………… 1 
1.1 Rumusan Masalah……………………………………………………… 2
 1.2 Tujuan Analisis………………………………………………………… 2
 1.3 Manfaat Analisis……………………………………………………….. 2 
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………….. 3
 2.1 Pembahasan Mantra………………………………………………………….. 3
 2.2 Teori Semiotik……………………………………………………………….. 5 
BAB III MENGANALISIS MANTRA........……………………………………. 9 
 BAB IV 
Penutup………………………………………………………………..... 12 Catatan…...………………………………………………………………………. 12 Saran……………………………………………………………………………... 12 
DAFTAR PUSTAKA (i)

KATA PENGANTAR 
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga analisis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Analisis yang berjudul Mantra Kesehatan dan Kekuatan Tubuh Suku Tolaki: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Tak lupa juga saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Sastra Daerah. Tentunya dalam penyusunan makalah ini masih mempunyai banyak kesalahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan agar dalam menganalisis selanjutnya lebih baik lagi. Segala saran dan masukan sangat saya harapkan. Saya ucapkan terimakasih 

BAB 1 PENDAHULUAN 
1.1. Latar Belakang Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional, mantra bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawang atau dukun yang ingin menghilangkan atau menyembuhkan penyakit misalnya, dilakukan dengan membacakan mantra. Berbagai kegiatan yang dilakukan terutama yang berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan pembacaan mantra. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa terdapat suatu kepercayaan di tengah mereka tentang suatu berkahi yang dapat ditimbulkan dengan pembacaan suatu mantra tertentu. Mereka sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari sebuah usaha untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu, keberadaan mantra menjadi penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya, mantra ada karena ada masyarakat pewarisnya. Masyarakat sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari usaha untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Lahirnya mantra di tengah masyarakat merupakan perwujudan suatu keyakinan atau kepercayaan. Kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan gaib yang mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu bentuk genre puisi lama, mantra timbul dari suatu hasil imajinasi masyarakat dalam alam kepercayaan animisme. Masyarakat percaya akan adanya hantu, jin, setan, dan benda-benda keramat dan sakti. Hantu, jin, dan setan dalam anggapan mereka ada yang jahat dan selalu mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang sifatnya baik. Mahluk gaib yang bersifat baik tersebut justru dapat membantu kegiatan manusia, seperti berburu, bertani, menangkap ikan, dan lain sebagainya. Hal tersebut hanya dapat terjadi apabila manusia menguasai mantra tertentu. Artinya, pembacaan suatu mantra tertentu dapat menimbulkan pengaruh magis (Lihat Hooykaas , 1952: 20). Mantra sebagai jenis sastra lisan yang diyakini memiliki pengaruh magis pastilah penyebarannya dilakukan secara tertutup dari generasi ke generasi. Kenyataan itu sudah menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa mantra adalah bagian dari tradisi lisan. Badudu (1984: 5) mengatakan bahwa mantra adalah puisi tertua di Indonesia 1 yang penyebarannya berlangsung secara lisan dan ketat. Setiap kelompok masyarakat tentu memiliki tradisi dan sastra lisan. Demikian pula dengan kelompok masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Namun dikalangan masyarakat suku Tolaki mantra tidak begitu popular lagi, hal ini dikarenakan oleh pengaruh kehidupan yang semakin modern, sehingga sebagian besar masyarakat tidak begitu percaya terhadap mantra. 1.2 Rumusan Masalah Pentingnya melakukan analisis terhadap mantra Kekuatan Tubuh dalam masyarakat suku Tolaki tersebut yaitu: 1) Bagaimana kandungan makna mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik? 2) Bagaimana matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki? 3) Bagaimana hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain? 1.3 Tujuan analisis Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan analisis ini adalah sebagai berikut. 1) Mengungkap makna yang terkandung pada mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik. 2) Mengungkap matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. 3) Mencari dan menemukan hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain. 1.4 Manfaat Analisis Hasil analisis ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pembaca, khususnya pembaca di bidang sastra, berupa pemahaman mengenai kandungan makna mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki, dan hubungan intertekstual mantra “Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain. 

BAB II LANDASAN TEORI 
 2.1 Pembahasan Mantra Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001). Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut orang Melayu, pemacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Mantra adalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu "menciptakan perubahan" (misalnya perubahan spiritual). Jenis dan kegunaan mantra berbeda-beda tergantung mahzab dan filsafat yang terkait dengan mantra tersebut. Mantra (Dewanagari: मन्त्र; IAST: mantra) berasal dari tradisi Weda di India, kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi Hindu dan praktik sehari-hari dalam agama Buddha, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai gerakan spiritual yang berdasarkan (atau cabang dari) berbagai praktik dalam tradisi dan agama ketimuran. Khanna (2003: hal. 21) menyatakan hubungan mantra dan yanra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut: Mantra juga dikenal masyarakat indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud baik maupun maksud kurang baik). Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki mantra, biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing. 3 Jenis-Jenis Mantra Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: 1) Mantra untuk pengobatan; 2) Mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri; 3) Mantra untuk kejahatan 4) Mantra untuk pekerjaan; dan 5) Mantra adat-istiadat. Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka. Pada dasarnya, mantra terdiri atas beberapa macam berdasarkan jenis dan fungsinya. Di antaranya, mantra bercocok tanam, mantra pengasih, mantra melaut, dan lain sebagainya. Mantra jenis apa pun diyakini memiliki fungsi tersendiri sesuai dengan keyakinan pemakainya. Mantra bercocok tanam misalnya, mantra ini digunakan dalam kaitannya dengan kegiatan bercocok tanam. Demikian pula halnya dengan mantra melaut. Mantra ini digunakan khusus ketika sedang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan melaut. Ratna mengatakan bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya bahkan dengan mahluk di luar dirinya sebagai manusia (2006: 97). 

2.2. Teori Semiotik 
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ferdinand de Saussure dikutip Piliang (2003: 256) mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Zaidan, 2002: 22). Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan himpunan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839–1914 ) dan Ferdinand de Saussure (1857–1813) mengemukakan beberapa pendapat mereka mengenai semiotik. Saussure menampilkan semiotik dengan membawa latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi, sedangkan Peirce menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotik. Peirce mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah (Lihat Zoest, 1993: 1–2). Dalam menganalisis mantra ini, konsep semiotik yang akan digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotik yang dikembangkan oleh Riffaterre, Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut: a. Ketidaklangsungan Ekspresi Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak 5 langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis (hubungan langsung antara kata dengan objek). b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004: 234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2005: 137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993 :126) dapat diringkas sebagai berikut. 1) Membaca untuk arti biasa. 2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. 3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. 4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks. 6 c. Matriks dan Model Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. d. Hubungan Intertekstual Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Mantra “Tanggawuku” suku Tolaki misalnya, mantra ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya. Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. 7 Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus. Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983: 65). Sebagai contoh, berikut adalah sebuah mantra melaut suku Bajo yang secara intertekstual memiliki hubungan dengan hadits nabi Muhammad SAW. Bismillahirrahmanirrahim Kiraman kapiyaman katebina 3x Mantra di atas menghendaki suatu pengulangan bunyi (kalimat) sebanyak tiga kali. Hal itu menunjukkan adanya suatu kesejajaran isi dengan sebuah hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk mengistimewakan angka-angka ganjil (tidak genap) seperti angka satu, tiga, dan tujuh. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam mantra “Tanggawuku” suku Tolaki. Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan. Dengan bertolak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat memahami hakikat makna dari “Tanggawuku” suku Tolaki, perlu dilakukan interpretasi semiotik. 

BAB III ANALISIS MANTRA INTERPRETASI SEMIOTIK RIFFATERRE 
 3.1 Mantra Ketahanan Tubuh: “Tanggawuku” Bismillahirrahmanirrahim Nabihaluru nabihelere Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi-poindi’anggu Nabi Muhammad 1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik Mantra ini merupakan mantra yang digunakan untuk membuat tulang kuat agar tidak mudah lelah. Mantra ini dilafazkan dalam rangka untuk meminta kesehatan badan dalam beraktivitas sehari-hari. Seperti pada umumnya, mantra ini pun dimulai dengan basmalah. Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pengguna mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Larik pertama, Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Nabihaluru nabihelere pada larik ini memiliki dua makna yang berbeda. Nabihaluru yang berati “nabiku”. Nabi yang dimaksud adalah nabi Muhammad, yang menjadi teladanku. Nabihelere berarti “nabimu”. Kata dalam bahasa Arab adalah sebutan untuk orang yang menjadi pilihan Allah SWT untuk menerima wahyunya. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Tolaki dan digunakan dalam penggunaan mantra. Dalam bahasa Inggris, kata nabi sepadan dengan kata prophet. Kata patonggopa berarti “empat bagian”. Kata owuta berarti “tanah”, tanah merupakan permukaan bumi. Patonggopa pada larik keempat sama artinya pada larik ketiga yaitu “empat bagian”. Wotolu yang berarti “tubuh”, tubuh adalah keseluruhan jasad 9 manusia atau binatang dari ujung kaki sampai ujung rambut. Iwoi yang berarti air, yang menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Dumagai’aku pada kata ini terdiri dari dua kata yang berbeda makna, dumagai berarti “yang menjaga”, dan aku berarti saya. Nggo yang berarti “akan”. Meokanggona berarti “disetiap capekku”. Pehere-here’anggu berarti “tempatku bersandar”. Ombu ta’ala yaitu Allah SWT, Allah ta’ala adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa atau Maha Perkasa penguasa jagat raya ini. Kata pepoi-poindi’anggu berarti “tempatku berpegang”. Nabi Muhammad yang berarti “Rasulullah SAW” yang ditugaskan oleh Tuhan untuk menyampaikan ajaran agama Islam. b. Pembacaan Hermeneutik Mantra di atas sesungguhnya sudah mengimplikasikan keinginanan si pembaca mantra untuk memperoleh pertolongan dari Tuhan. Pertolongan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah berupa kesehatan tubuh dan tubuh yang kuat. Mantra ini juga menggambarkan sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan Muhammad SAW sebagai rasul yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia. Gambaran mengenai sikap penyerahan diri kepada Tuhan terdapat pada larik kedua mantra, yaitu pehere-here’anggu Allah ta’ala. Kalimat ini mengimplikasikan kepada Allah SWT sebagai tempat bersandar diri memohon pertolongan dan perlindungan, Nabi Muhammad sebagai teladan dan pedoman hidup bagi umat manusia. Semua yang terjadi di dunia adalah karena kehendak-Nya. Allah taala adalah pencipta seluruh jagad alam dan yang berhak untuk menentukan segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Kepada-Nyalah semua makhluk harus tunduk dan taat dengan segala perintah dan larangan-Nya, dan memohon perlindungan serta kesehatan jasmani dan rohani. Jiwa dan raga ini adalah milik-Nya, kapanpun Dia dapat membuatnya sakit dan kapanpun dapat mengambilnya. Nabihuluru nabihelere mengimplikasikan pada nabiku nabimu adalah sama. Muhammad dalam hal ini adalah sebuah simbol kekuatan. 2) Matriks dan Model Isi mantra ini mencitrakan hubungan kedekatan manusia dengan Sang Pencipta yang secara eksplisit disebutkan di dalam mantra. Seperti halnya makhluk lainnya yang selalu mempunyai hubungan kedekatan seperti itu. Kata Allah Taala yang dijumpai pada mantra ini 10 pada larik keenam mengimplikasikan bahwa pembaca mantra menyadari sepenuhnya posisinya di hadapan Tuhan. Kata ini kemudian melahirkan kalimat puitis, seperti pehere-here’anggu Allah taala. Kalimat pehere-here’anggu Allah taala menjadi model pertama dari mantra ini. Model kedua dalam mantra ini adalah pepoi-poindi’anggu Nabi Muhammad. Kalimat ini memiliki kekuatan puitis yang sama dengan model pertama. Kalimat ini juga bersandar pada wacana religius keislaman yang memperlihatkan hubungan kedekatan antara pembaca mantra dengan Muhammad sebagai imamnya. 3) Hubungan Intertekstual Secara spiritual Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Alif Lamm Miim. Namun, para sufi memahaminya dalam empat hal, yaitu (1) dzat, yang bukan berawal dan berakhir, bukan rupa, bukan warna, bukan wujud, bukan materi, keadaan yang tenang, tentram, dan damai; (2) sifat, sifat dinamis dari Tuhan yang Maha Bijaksana, adil, dan pengasih dan penyayang; (3) Asma, nama Tuhan yang baik-baik, seperti Allah Ta’ala, Yehueh, Deo, dan God; dan (4) Afngal, hadirnya nasib dan takdir baik dan buruk. Walaupun dzat, sifat, asma, dan afngal dapat dibedakan menurut pengertiannya, tetapi keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Utomo, 1997: 39). Dzat meliputi sifat, sifat menyertai asma, dan asma menandai afngal. Pemahaman tentang Tuhan yang demikian itu oleh manusia menjadi hidup yang dinamis. Tuhan dipandang sebagai pemilik atas segala yang berwujud dan tidak berwujud karena Tuhan-lah yang menciptakan atas semua itu. Kesadaran terhadap Tuhan tampaknya tercermin melalui kalimat pehere-here’anggu Allah ta’ala yang terdapat pada mantra di atas. Hal ini menyarankan pada pemahaman bahwa masyarakat suku Tolaki sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan pulalah yang menentukan sehat dan sakitnya manusia. Manusia boleh berusaha, boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap berada pada kehendak Tuhan. Tampaknya juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan melihat teks mantra di atas. Kata Allah Taala “Allah SWT” dan Muhammad “Nabi Muhammad SAW” menjadi petunjuk terhadap paham Islam yang diyakini dalam lingkup masyarakat itu. Mantra di atas menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk memohon pertolongan dan rahmat dari Tuhan dan Rasulnya. Kalimat 11 pepoi-ppoindi’anggu Nabi Muhammad mengimplikasikan pada suatu kepercayaan akan keberadaan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam kitab suci Al-Quran dikatakan bahwa Muhammad SAW diibaratkan sebagai sosok yang telah memberikan penerangan bagi kehidupan ummat manusia yang berada dalam kegelapan. Beliau adalah pembawa cahaya dan petunjuk untuk jalan yang lurus. Percaya pada keberadaan Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang ketiga dalam Islam. Rasulullah adalah pembawa ajaran agama Islam. Atas dasar prinsip paham tersebut, maka masyarakat suku Tolaki menganggap bahwa Muhammad sebagai tokoh agama memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan dengan manusia yang lain. Menurut Thohir (2006: 41), hubungan antara manusia dengan tokoh-tokoh agama adalah hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi sosial. Pada dimensi keagamaan, hubungan itu dikukuhkan oleh paham-paham keagamaan yaitu konsep derajat manusia atas dasar ketaqwaan dan konsep tawasul (mediasi). Pada dimensi sosial, orang-orang suci direfresentasikan kepada nabi, wali, sampai kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan Tuhannya, oleh karena itu mereka lebih didengar dan dikabulkan doanya. Logika “keagamaan” ini menjadi alasan bagi manusia untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi sebagai mutawasul (mediator) dalam menyampaikan permohonannya kepada Tuhan. 12 Catatan: • Pada umumnya, pembacaan mantra selalu mangandung dua unsur pokok. Kedua unsur itu adalah ritual dan magic. Ritual merupakan tindakan atau usaha yang dilakukan oleh manusia untuk “meminta” kepada “Sang Penguasa”, sedangkan magic lebih bersifat “memerintah”. • Nonsense adalah “kata-kata” yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense itu untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib, dan dunia yang bersifat mistik (Pradopo, 2005: 128). • Nabi Iler, Nabi Ler, dan Nabi Iser adalah tiga nabi bersaudara yang diyakini dalam lingkungan masyarakat suku Bajo sebagai nabi yang memiliki kekuasaan di dalam laut. Ketiganya dipercaya dapat mendatangkan dan menghentikan badai di laut. • Bhatata adalah salah satu pelengkap mantra yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Lalole, Sulawesi Tenggara. Tujuannya adalah untuk menambah kekuatan gaib sebuah mantra. Biasanya digunakan sebelum atau sesudah pembacaan mantra. • Sejenis alat penangkap ikan sejenis bubu yang dipasang di tengah laut. Bentuknya lebih besar dibandingkan dengan bubu sehingga memungkinkan menjerat ikan dengan jumlah yang banyak. • Ritual ialah tindakan atau prilaku manusia yang dilakukan dalam rangka berkomunikasi dengan alam gaib atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Ritual memiliki fungsi psikologis, sosial, dan perlindungan. Saran Sebagai umat yang beragama dalam penggunaan mantra haruslah yang bermakna religius, yang menyertakan nama Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW agar kita tidak melakukan hal yang musyrik (menyekutukan Allah). Dan juga tidak menggunakan mantra untuk kejahatan dalam memenuhi keinginan atau menyakiti bahkan membunuh orang lain (pelet). 

DAFTAR PUSTAKA 
Alwi, Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka. Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”. 
Rusyana, Yus dan Raksanegara, Ami. 1978. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhan, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

logo TNi




















PROPOSAL: Klitika Bahasa Tolaki

KLITIKA BAHASA TOLAKI
FITRI YUNITA MARANAY
A2D1 09031 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012


BAB I PENDAHULUAN
 1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai alat komunikasi. Hal ini tampak dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia, bahasa senantiasa dijadikan kerangka untuk mencapai tujuan. Dengan bahasa kita dapat mengkomunikasikan berbagai aspek kehidupan dalam arti yang luas, seluas jangkauan kehidupan manusia itu sendiri. Di Indonesia, kebijaksanaan mengenai bahasa dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36 dan penjelasan pada Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya). Bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh negara. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) sebagai pengantar di Sekolah Dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar bahasa Indonesia dan mata pelajaran daerah (Depdikbud, 1983:11). Menyadari pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa daerah dalam kaitannya dengan pertumbuhan, perkembangan dan pembakuan bahasa nasional serta kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah sebagai salah satu unsure kebudayaan, maka bahasa-bahasa daerah perlu diselamatkan, dipelihara, dibina dan dikembangkan. Sejalan dengan berbagai pernyataan di atas, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini oleh berbagai kalangan untuk mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia sangat besar manfaatnya, termasuk didalamnyabahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara, khususnya bahasa Tolaki. Bahasa Tolaki adalah salah satu bahasa daerah yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini bahasa Tolaki masih tetap digunakan sebagai bahasa pergaulan dan alat komunikasi dalam wilayah sosial cultural Tolaki, bahasa Tolaki juga merupakan salah satu bahasa di antara tiga bahasa di Sulawesi Tenggara yang dimasukkan dalam Kurikulum Muatan Lokal, maka bahasa Tolaki merupakan salah satu mata pelajaran bagi siswa SD dan SMP di kota Kendari. Penutur bahasa Tolaki tersebar di dua kabupaten yaitu Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Penyebaran bahasa Tolaki dimulai dari wilayah sekitar Danau Matana bergeser ke arah Selatandihulu Sungai Lasolo dan Konawe’eha yang mula-mula berlokasi di Andolaki, pemukiman pertama orang Tolaki. Selanjutnya, bahasa ini bergeser ke timur sampai di pesisir Sungai Lasolo dan Lalindu di Kecamatan Asera, ke tenggara sampai di wilayah-wilayah Kecamatan Mowewe, Tirawuta, Lambuya, Unaaha, Wawotobi, Lasolo, Sampara, Mandonga, Kendari, Ranomeeto, Punggaluku, Tinanggea, Moramo, dan Wawoni’I, ke selatan sampai di wilayah kecamatan Lasusua dan Pakue (Tariman, 1993:70). Usaha dan kegiatan penelitian bahasa-bahasa daerah di Indonesia telah banyak dilakukan oleh beberapa ahli buku-buku di perpustakaan-perpustakaan, took-toko buku disana kita akan menemukan beberapa buku mengenai bahasa daerah tertentu beserta aspek-aspeknya. Di Sulawesi Tenggara khususnya daerah Tolaki, kegiatan penelitian sudah ada yang melakukannya. Penelitian itu ada yang bersifat lembaga, melalui jalur kegiatan proyek penelitian bahasa dan Sastra Indonesia dan juga penenlitian yang bersifat pribadi. Penelitian bahasa Tolaki antara lain pattiasina dkk. (1997/1998) Struktur Bahasa Tolaki, Muthalib dkk. (1985) Kata Tugas Dalam Bahasa Tolaki, Tariman (1989) kebudayaan Tolaki, dan Sailan (1995) Tata Bahasa Tolaki. Dari sekian banyak peneliti tersebut diatas, belum ada yang secara khusus meniliti tetang klitika bahasa Tolaki. Kenyataan ini dapat kita lihat pada beberapa buah karya hasil penelitian yang telah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini sangat perlu untuk dilakukan. Hal ini merupakan salah satu upaya pembinaan dan pengembangan serta pelestarian bahasa daerah Tolaki. Di dalam bahasa Tolaki terdapat bentuk-bentuk klitika yang berupa proklitik dan enklitik. Proklitik adalah klitik yang harus diletakkan di depan morfem dasar, sedangkan yang dimaksud dengan enklitik adalah klitik yang dilekatkan di belakang morfem dasar (Pateda, 1998: 79). Beberapa data berikut ini memperlihatkan adanya bentuk proklitik dan enklitik dalam bahasa Tolaki. 1. Aupebaho leesu. ‘kau mandi duluan’ Bentuk proklitik yang melekat didepan morfem dasar pebaho ‘mandi’ yaitu proklitik au ‘kau’. 2. Lapo, ana makurano kuonggo tuhani’i Adapun kurangnya nanti saya tambah’ Enklitika yang melekat dibelakang morfem dasar la ‘ada’ yaitu po’ana ‘pun’. 1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, selanjutnya yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana bentuk-bentuk klitika bahasa Tolaki? b. Bagaimana makna klitika bahasa Tolaki? 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk klitika baik proklitik maupun enklitik dalam bahasa Tolaki. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Sebagai sumbangan pikiran dalam usaha meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk klitika dalam bahasa Tolaki. 2. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang sifatnya lebih mendalam tentang bahasa Tolaki khususnya bentuk-bentuk klitika. 1.5 Kerangka Acuan Penelitian ini menggunakan pendekatan structural dalam memilih teori dengan harapan dapat menjangkau dan mencakup semua masalah penelitian. Untuk itu penelitian ini memilih beberapa pandangan dari teori linguistic yang relevan dengan masalah pokok penelitian. Pendekatan structural yang dikembangkan oleh Saussure menjadi penyangga utama dalam memilih teori yang relevan dengan masalah penelitian. Teori tentang klitika mengacu pada pandangan Pateda (1988:78), Suparni (1989:83), Keraf (1779:16), Sibrani (1987:2). Metode dan teknik analisis data mengacu pada pandangan Djajasudarma (1993, 1997) dan Sudaryanto (1992, 1993). 1.6 Batasan Istilah Sesuai dengan judul penelitian ini klitika bahasa Tolaki, maka batasan istilahnya adalah: 1. Klitika adalah bentuk terikat yang secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri dan tidak dianggap morfem terikat karena dapat mengisi gatra pada tingkat frase atau klausa, tetapi tidak berlaku sebagai bentuk bebas (Suparni, 1989:83). 2. Bahasa Tolaki adalah salah satu bahasa daerah yang terdapat di Sulawesi tenggara dan hingga saat ini masih tetap dipergunakan sebagai bahasa pergaulan dan alat komunikasi dalam wilayah sosial cultural Tolaki (Tarimana, 1989:20).

Jumat, 25 Mei 2012

makalah teka-teki (pertanyaan tradisonal)

BAB I PENDAHULUAN
 1.1 LATAR BELAKANG
 Bangsa Indonesia terkenal dengan budayanya yang beraneka ragam. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami dari berbagai daerah yang terbentang dari sabang sampai merauke. Berbagai jenis suku yang tercermin dari keanekaragaman budaya kelompok-kelompok suku yang merupakan sub budaya dari kebudayaan nasional perlu dilestarikan. Dalam upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berdasarkan nasional perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat mengangkat nilai-nilai sosial yang luhur yang diperlukan bagi pemahaman dalam proses pembagunan. Bahasa dan sastra daerah perlu terus dibina dan di lestarikan dalam mengembangkan serta memperkaya khasanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur kepribadian bangsa Sastra daerah adalah bagian dari aset kekayaan nasional yang harus dikembangkan. Upaya pemeliharaan dan pengembangan sastra daerah tidak terlepas dari pangggilan sumber kebudayaan daerah yang tersebar di kawasan daerah nusantara. Folklor adalah salah satu bahan pembelajaran sastra daerah yang merupakan sebagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang terbesar dan mewariskan turun-temurun secara tradisional da;lam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Teka-teki (pertanyaan tradisional) merupakan salah satu folklor lisan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula. 
1.2 RUMUSAN MASALAH Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana mendeskripsikan teka-teki (pertanyaan tradisional) 
1.3 TUJUAN Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan teka-teki (pertanyaan tradisional)
 1.4 MANFAAT Adapun manfaat dari makalah ini adalah dapat mengetahui teka-teki (pertanyaan tradisional)

BAB II PEMBAHASAN 
TEKA-TEKI (PERTANYAAN TRADISINAL)
Pertanyaan tradisional, di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabannya sukar, bahkan sering kali juga baru dapat dijawab setelah mengetahui lebih dahulu jawabnya. Walaupun pribahasa dan teka-teki dalam bentuk “ kecil” bila dibandingkan dengan cerita prosa rakyat dan nyanyian rakyat, namun seorang ahli dapat menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk meneliti kedua genre itu. Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes teka-teki adalah “ Ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabnya harus diterka” (Georges & Dandus, 1963 : 113). Selanjutnya menurut kedua sarjana itu teka-teki dapat digolongakan ke dalam dua kategori umum, yakni : 
1. Teka-teki yang tidak bertentangan Pada teka-teki yang tidak bertentangan, yang bersifat harfiah jawab dan pertanyaannya adalah identik. Keadaan akan menjadi lain pada teka-teki yang tidak bertentangan yang bersifat kiasan karena referen dan topik 
2. Teka-teki yang bertentangan Pembagian itu berdasarkan ada atau tidak adanya pertentangan diantara unsur-unsur pelukisannya dapat bersifat harfiah, yakni seperti apa yang tertulis atau kiasan

sejarah perkembangan media

Sejarah Perkembangan Media Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar. Pada tahun 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Tahun 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Tahun 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi. Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa. Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun. Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya. Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak. Pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja. Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita. Media Jurnalistik Media jurnalistik merupakan wahana diskusi dan sosialisasi gagasan, memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka mencari solusi suatu masalah, dan sebagai sarana proses aktualisasi dan eksistensi diri. Akan tetapi, mediapun bisa memberikan pengaruh yang baik dan buruk bagi khlayak. Tergantung pada cara penyimpulan isi pesan tersebut bisa bersifat inspiratif, proaktif, bahkan provokatif. Media jurnalistik adalah media-media yang dipakai oleh para jurnalis dan produsen jurnalistik dalam menampilkan obyek jurnal, diantaranya adalah: 1. Media Verbal Merupakan media jurnalistik yang mempergunakan kata-kata atau tulisan. Pada awalnya berita disebarluaskan melalui telex (hingga saat ini masih dipergunakan, seperti pada kantor-kantor berita nasional), perkembangan selanjutnya melalui media cetak seperti pada koran dan majalah. 2. Media Foto Media gambar diam yang didapatkan dengan tekhnologi kamera, dikenal dengan istilah Fotografi Jurnalistik. Mulai dikenal dan berkembang sejak tahun 1851, berkat jasa wartawan perang pertama, Roger Fenton. 3. Media Audio Pemanfaatan tekhnologi audio yang berkembang hingga pada pemberitaan melalui stasiun pemancar radio. 4. Media Visual Media gambar bergerak. Lebih banyak diminati, karena lebih mudah dinikmati. Saat ini telah berkembang berkat tekhnologi elektronik audio-visual, sehingga tidak hanya menyaksikan rekaman gambar bisu, namun juga dapat menikmati suaranya.

menganalisis Drama Berdasarkan Unsur Instrinsik

TUGAS: KAJIAN DRAMA

MENGANALISIS DRAMA
BERDASARKAN UNSUR INTRINSIK








FITRY YUNITA MARANAY
A2D1 09031



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011


PENDAHULUAN
1.    Pengertian Sastra
Sastra adalah merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang berunsur fiksionalitas, yang merupakan luapan emosi spontan. Van Luxwmburg, Jan (Terj. Dick Hartoko). Pengantar Ilmu Sastra Yogyakarta :Kanisius, 1983. Sastra adalah karya sastra imajinatif bermedia yang nilai estetikanya bernilai dominan. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada disekitar pengarang.

2.    Penjelasan Tentang Kajian Sastra(drama)
Kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu (Aminuddin, 1995:39). Kegiatan “mempelajari” dalam pemahaman yang bersifat keilmuan adalah “menganalisis”. Inti dari kegiatan mengkaji adalah menganalisis.

3.    Judul Drama : “Alangkah Lucunya Kampus Ini” (Mas Jaya)
4.    Alasan Memilih Drama “Alangkah Lucunya Kampus Ini”.
Karena mengandung pesan moral yang dapat kita petik. bagaimana mempertanggungjawabkan amanah dan harapan orang tua, dengan berbagai pengaruh-pengaruh dilingkungan kampus. Seperti terdapat dalam kutipan percakapan berikut ini :
Amanah dan Harapan Orang Tua Inu:
Ibu: “Imu diantara kalian bertiga ini, hanya kamu yang saya lihat pintar. Ko sering dapat juara kelas. jadi kalau ko sudah pergi kuliah nanti, ko harus lebih pintar lagi. Supaya ko bisa seperti kakaknya La Iso, jadi anggota dewan. Atau tidak, ko bisa seperti bapaknya Ambo’i. sudah jadi kepala sekolah SD sekarang.”
Ayah: “Imu..tujuan bapak dan ibumu kasi duduk km malam ini, supaya ko bisa dengar baik-baik nasehat dari orang tuamu ini. Bapak sangat percaya sama kamu. Kamu itu sudah pintar, tidak merokok dan minum seperti kebanyakan pemuda dikampung ini. Kamu juga belum pernah pacaran saya lihat, dan mudah-mudahan saat kuliah juga jangan dulu.”
Ibu: “iya imu..apa lagi dari mereka itu ada juga yang pulang sudah bawa anak gadisnya orang. Jangan kasihan Inu, jangan! Disana itu Inu, kota.banyak maksiatnya. Tidak ada ibu dan bapakmu yang akan melihatmu nanti, selain Allah dan dirimu sendiri. Jadi jangan sekali-kali ko tinggalkan itu sholat dan mengajimu, karena itu adalah orang tuamu yang akan selalu menegur dan menasehatimu disana.”
Ayah: ”Imu..ko jaga pergaulanmu. Jangan sedikit-sedikit ko kaget lihat modelnya orang disana. Jadilah seperti tukang genteng yang selalu melihat kebawah, jangan seperti tukang gali sumur yang sedikit-sedikit melihat keatas. Ko lihat orang-orang di atas, beli ini..beli itu, begini begitu, ko mau ikut juga. Ingat nak kita ini orang bawah, orang miskin Nak.”
Ibu: “iya Nak, kondisi keluargamu harus juga ko ingat. Tapi jangan karena ko miskin baru ko minder untuk belajar. Mama yakin, pasti ko lebih pintar dari pada orang-orang kota sana.”
Pengaruh-pengaruh:
La Ipo: “ beee…apami yang ko dapat itu..ko tidak bisa jadi orang sukses kalau begitu, kuliah itu harus kasi lama. Ko harus masuk organisasi, biar ko jadi aktivis. Heee…hitungkan ko nah…kuliah sarjana itu 4 tahun. Organisasi juga harus begitu: 1 tahun jadi ketua HMPS, 1 tahun jadi ketua DPM, 1 tahun jadi ketua BEM fakultas dan 1 tahun lagi jadi ketua BEM universitas. Jadi totalnya 8 tahun.
La Ipo: “ha..ha..ha (tertawa) .eh saya jelaskan nah,Mahasiswa itu bisa dikatakan sukses kalau dapat CW. Kalau ko hanya sukses kuliah, itu sama saja kutu buku. Pokokno begini he! Pertama ko belajarmi dulu bae-bae, karena itu amanah dari orang tuamu, amanahnya om dan tantemu juga. Jadi, saya hargai itu. Nah pelan-pelan ko masukmi organisasi. Nah kalo ko sudah pintar, baru bagus organisasimu, banyak itu cewek yang lengket sama kamu nanti. Bagaimana, mantap toh!
La Ipo: “hmmm..deela kunee..! janganmi ko khawatir yang itu, kitaji yang pegang kampus. Kalau di DO, tinggal angkat megafon langsung takut itu birokrasi. Pokokno ko tidak rugi kasihan kalo ko ikut sepupumu ini. Hee..tidak ada yag berani kore-kore ko dikampus, bisa ko kuliah semaumu, dan yang penting ko tidak kelaparan. Artinya, biarpun lama ko kuliah, ko tidak akan jadi beban orang tua.
La ipo: ”wooo…ada toh caranya…hanya aktivis kayak sepupumu ini yang tau. Pokokno kalau masalah uang itu kecil, makanya ko gabungmi sama kita ini. Uuu…kalau ko sudah punya uang kasian, itu cewek-cewek tinggal ko pungut seperti gula-gula, hehehe….! Ko tidak lihatkah sepatuku ini, kayak sepatunya bos-bos toh. Ngeri juga harganya.

A.    Analisis Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu sendiri dan sebagai unsur pembangun dalam tubuh karya sastra itu. Unsur intrinsik pada karya sastra meliputi tema, alur, tokoh atau penokohan, latar, amanat atau pesan, dan sebagainya.
1.    Tema
Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naska lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita.
Adapun tema drama di atas adalah “Pengaruh-Pengaruh di lingkungan Kampus”. Mengapa? Karena persoalan yang menduduki tempat utama dalam drama “Alangkah Lucunya Kampus Ini” adalah pengaruh negatif yang dilakukan oleh tokoh La Ipo terhadap sepupunya Imu yang merupakan mahasiswa baru. Sebagaimana yang tergambar dalam kutipan dialog berikut:

 La Ipo : “beee…apami yang ko dapat itu..ko tidak bisa jadi orang sukses kalau begitu, kuliah itu harus kasi lama. Ko harus masuk organisasi, biar ko jadi aktivis. Heee…hitungkan ko nah…kuliah sarjana itu 4 tahun. Organisasi juga harus begitu: 1 tahun jadi ketua HMPS, 1 tahun jadi ketua DPM, 1 tahun jadi ketua BEM fakultas dan 1 tahun lagi jadi ketua BEM universitas. Jadi totalnya 8 tahun.
Imu: “biihh..sa tidak mau jadi aktivis, lama sekali kuliahnya. Biarmi saya bisa jadi sukses dengan belajar.”
La Ipo: “ha..ha..ha (tertawa) .eh saya jelaskan nah,Mahasiswa itu bisa dikatakan sukses kalau dapat CW. Kalau ko hanya sukses kuliah, itu sama saja kutu buku. Pokokno begini he! Pertama ko belajarmi dulu bae-bae, karena itu amanah dari orang tuamu, amanahnya om dan tantemu juga. Jadi, saya hargai itu. Nah pelan-pelan ko masukmi organisasi. Nah kalo ko sudah pintar, baru bagus organisasimu, banyak itu cewek yang lengket sama kamu nanti. Bagaimana, mantap toh!”
Imu: “iih…gimana di….? Eh tadi ko bilang, kita harus kuliah 8 tahun. Perasaan kalau 8 tahun kita sudah di DO mi itu…!”
La Ipo: “hmmm..deela kunee..! janganmi ko khawatir yang itu, kitaji yang pegang kampus. Kalau di DO, tinggal angkat megafon langsung takut itu birokrasi. Pokokno ko tidak rugi kasihan kalo ko ikut sepupumu ini. Hee..tidak ada yag berani kore-kore ko dikampus, bisa ko kuliah semaumu, dan yang penting ko tidak kelaparan. Artinya, biarpun lama ko kuliah, ko tidak akan jadi beban orang tua.”
Inu: “iyo! Bagaimanakah caranya?”
La ipo: ”wooo…ada toh caranya…hanya aktivis kayak sepupumu ini yang tau. Pokokno kalau masalah uang itu kecil, makanya ko gabungmi sama kita ini. Uuu…kalau ko sudah punya uang kasian, itu cewek-cewek tinggal ko pungut seperti gula-gula, hehehe….! Ko tidak lihatkah sepatuku ini, kayak sepatunya bos-bos toh. Ngeri juga harganya.”
Inu;” iya dee.. sa mau ikutmi juga sama kalian.



2.    Alur
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dalam pengertian umum, alur atau plot sering didefenisikan sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang disusun secara logis dan kausalitas. Banyak aspek dalam menganalisis alur sebuah karya sastra (cerpen, novel, drama, dan sebagainya), misalnya, kita menempatkan analisis alur cerita sesuai dengan urutan teks (alur sekuen), urutan waktu (kronologis), atau urutan logis (kausalitas) sesuai dengan pengertian awal tentang alur.
Adapun analisis alur dari segi urutan waktu (alur kronologis) dari drama “Alangkah Lucunya Kampus Ini” karya yaitu:

    Deskripsi Inu masuk kuliah.
    Tokoh Inu sebelumnya diberi nasehat-nasehat oleh orang tuanya.
    Tokoh Inu bertemu sepupunya yang bernama La Ipo.
    Percakapan antara tokoh Inu dan tokoh La Ipo.
    Deskripsi tentang manuskripsi tokoh Inu.
    Deskripsi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagainya.
    Penawaran masuk organisasi oleh tokoh La Ipo kepada tokoh Inu.
    Deskripsi suasana hati tokoh Inu tentang nasihat orang tuanya.
    Tokoh la Ipo berusaha meyakinkan tokoh
    Deskripsi terpengaruhnya tokoh Inu.
    Tokoh inu bertemu lagi dengan tokoh Usman
    Tokoh Usman menawarkan Inu masuk organisinya
    Terjadi perbincangan antara tokoh La Ipo dengan John
    Deskripsi terjadi perdebatan kecil antara tokoh La Ipo dengan tokoh Usman
    Terjadi dialog dalam aksi demo antara tokoh Celo dengan tokoh Rektor
    Deskripsi keluhan kebingungan yang dialami oleh tokoh Inu kepada tokoh Usman
    Tokoh La Ipo datang menghampiri Usman
    Deskripsi akhir yaitu ketegangan antara tokoh Usman dan tokoh La Ipo, atas kegerangan tokoh La Ipo terhadap tokoh Usman  yang selalu mendekati Inu.

3.    Tokoh atau Penokohan
    Tokoh adalah pelaku utama dalam karya sastra.
    Penokohan adalah perwatakan oleh teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.
Nama-Nama Tokoh
-    Bapak    - La Ipo
-    Ibu    - john       
-    Kakak    - Celo
-    Adik    - Rektor
-    Imu    - Usman
Penokohan:
    Penulis mencitrakan tokoh Inu yang pintar diantar dua saudaranya dan juga sebagai seorang mahasiswa baru yang lugu, seperti terdapat dalam kutipan berikut :
Imu: “ihh…gimana di…! Eh tadi ko bilang, kita harus kuliah 8 tahun. Perasaan kalau 8 tahun, kita sudah di DO mi.”
Imu: “iya dee..sa mau ikutmi juga sama kalian.”
Imu: “ingin sih kak. Eh kak katanya kalau kita ikut organisasi itu bisa menghambat kuliahnya kita?”
    Penulis menceritakan tokoh ibu  yang sangat  penyayang dan perhatian.
Seperti terlihat pada kutipan dialog:
“Ibu: “iya inu..apa lagi dari mereka itu ada juga yang pulang sudah bawa anak gadisnya orang. Jangan kasihan Inu, jangan! Disana itu Inu, kota.banyak maksiatnya. Tidak ada ibu dan bapakmu yang akan melihatmu nanti, selain Allah dan dirimu sendiri. Jadi jangan sekali-kali ko tinggalkan itu sholat dan mengajimu, karena itu adalah orang tuamu yang akan selalu menegur dan menasehatimu disana.

    Penulis mencitrakan tokoh ayah yang bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
Ayah: “ho…Imu, sebentar lagi ko akan pergi jauh, ko mau pergi sekolah supaya ko jadi orang. Tidak kaya bapak dan mama mu ini. Sudah mau rabunmi ini mata, biar ditabrak huruf huruf A tidak ditahu.
    Penulisan tokoh kakak yang nakal, malas sekolah tetapi menyayangi Imu. Seperti terlihat dalam kutipan:
Kakak: “heh…!iyo Inu, pokono ko harus bae-bae, jangan kaya kakakmu ini, belum tamat SD sudah patah pulpenku. Pokoknya saya janji, saya akan banting keringat untuk bantu biayaiko.”
    Penulis mencitrakan tokoh Adik yang cerewet. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
Adik: “Betul itu Imu, masa kemarin saja to saya minta diajar membaca sama bapak, dia tolak. Saya kecewami kasian.”   
Adik: “ iyo Imu! Jangan seperti Ino (kakak). Satu hari to banyaknya leta yang dia habiskan, kayak sudah pegawai negeri saja. Untung-untung dia tidak minumji.”
Adik: “ Kak, kalo ko sudah jadi mahasiswa toh. Ko ikut-ikut juga demo nah, sapa tahu Ade bisa lihatko diTV. Supaya saya bisa sombong-sombongkan juga sama temanku, kalo kakakku masuk TV.”
    Penulis mencitrakan tokoh La Ipo sebagai sosok orang yang  suka menyombongkan diri dan juga arogan. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
La Ipo: “hee..sekarang ko tenangmi. Uuu..pokono kalo sudah bosku yang turun tangan, semuanya jadi angkat tangan. Tidak ada yang berani, dari dulu sampai sekarang kitami ini yang pegang peradaban kampus trus. Bagaimanami rencana kampusmu?”
La Ipo: “hmmm..deela kunee..! janganmi ko khawatir yang itu, kitaji yang pegang kampus. Kalau di DO, tinggal angkat megafon langsung takut itu birokrasi. Pokokno ko tidak rugi kasihan kalo ko ikut sepupumu ini. Hee..tidak ada yag berani kore-kore ko dikampus, bisa ko kuliah semaumu, dan yang penting ko tidak kelaparan. Artinya, biarpun lama ko kuliah, ko tidak akan jadi beban orang tua.
La ipo: ”wooo…ada toh caranya…hanya aktivis kayak sepupumu ini yang tau. Pokokno kalau masalah uang itu kecil, makanya ko gabungmi sama kita ini. Uuu…kalau ko sudah punya uang kasian, itu cewek-cewek tinggal ko pungut seperti gula-gula, hehehe….! Ko tidak lihatkah sepatuku ini, kayak sepatunya bos-bos toh. Ngeri juga harganya.
La Ipo: “Lee..bosku. saya tidak bisami tahan ini tanganku kalo begini, gatal sekalimi!”
    Penulis mencitrakan tokoh john sebagai seorang yang suka menyombongkan diri sebagai orang yang ditakuti. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
John: “ Halo bosku. Ada yang abang bisa bantu? Hah! Ko diskorsing? Wiih… cari gara-gara lagi ini pak Rektor eee….ko tenangmi, besok kita angkat megafon didepan rektorat. Biar saya nanti yang arahkan semua kawan-kawan. Okemi..tidak usah sungkan-sungkan.”
    Penulis mencitrakan tokoh Rektor yang konsisten pada keputusan yang telah dikeluarkan. Seperti terlihat dalam kutipan dialog:
Rektor: ”eh! Tidak bisa begitu, jelas-jelas diperaturan pelaku anarkis yang merugikan pihak kampus dan mahasiswa lainnya aan dikenakan sanksi skorsing. Syukur-syukur saya tidak kasi DO itu anak-anak. Kalo kita cabut ini keputusan, sama saja tidak konsisten dengan peraturan dikampus ini.”
    Penulis mencitrakan tokoh Celo sebagai asisten Rektor yang takut pada mahasiswa preman kampus. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
Celo: “    Memang kayaknya kita seperti itu pak, harus melunak sedikitlah. Karena saya tahu betul wataknya itu anak-anak, kalo sudah bilang A harus A, tidak bisa B.”
    Penulis mencitrakan tokoh Usman sebagai mahasiswa yang rajin beribadah dan tenang menghadapi masalah. Seperti terlihat pada kutipan dialog:
Usman: ”Tadi baru dari musholah, Alhamdulillah baru selesai ngisi mentoring anak-anak MABA.”
Usman: ”(dengan tenang) mungkin ada baiknya jika kita saling memberikan yang positif saja buat Imu, tanpa harus memakai urat seperti ini. Biarpun bersebrangan pemikiran, tapi bukan berarti kita harus saling bersebrangan hati.”

4.    Latar
Latar atau setting yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa dalam sebuah karya sastra.
    Latar waktu
Latar waktu  adalah waktu yang menjadi latar belakang peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Pada drama “Alangkah Lucunya kampus Ini ” latar waktunya yaitu pada saat berkumpul dengan keluarga terjadi malam hari, seperti terlihat pada kutipan dialog:
Ayah: ”Inu..tujuan bapak dan ibumu kasi duduk kamu malam ini, supaya ko bisa dengar baik-baik nasehat dari orang tuamu ini. Bapak sangat percaya sama kamu. Kamu itu sudah pintar, tidak merokok dan minum seperti kebanyakan pemuda dikampung ini. Kamu juga belum pernah pacaran saya lihat, dan mudah-mudahan saat kuliah juga jangan dulu.

 Dan situasi dikampus terjadi  siang hari seperti yang tergambar dalam kutipan dialog berikut :
La Ipo: “ko kuliah disini ka? kenapa kasian ko tidak bilang-bilang dulu ka kalo ko mau kuliah disini…? Supaya sa jemputko. Jadi, ko aman-amanji kemarin waktu OSPEK..nda adaji yang gangguko ko?

    Latar tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa lakon itu terjadi. Pada drama “Alangkah Lucunya Kampus Ini” yang menjadi latar tempatnya yaitu di dirumah Inu dan dikampus, hal ini seperti yang tampak dalam dialok berikut :
La Ipo: “ko kuliah disini ka? kenapa kasian ko tidak bilang-bilang dulu ka kalo ko mau kuliah disini…? Supaya sa jemputko. Jadi, ko aman-amanji kemarin waktu OSPEK..nda adaji yang gangguko ko?”
5.    Amanat atau Pesan
Amanat atau Pesan merupakan pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan didalam karya sastra.
Amanat atau Pesan terbagi atas dua macam yaitu :
     Amanat Tersurat
Amanat tersurat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang secara langsung atau tersurat melalui karya atau tulisannya.
Amanat tersurat dalam drama ini yaitu seperti dalam kutipan dialog :
Ibu: “Inu diantara kalian bertiga ini, hanya kamu yang saya lihat pintar. Ko sering dapat juara kelas. jadi kalau ko sudah pergi kuliah nanti, ko harus lebih pintar lagi. Supaya ko bisa seperti kakaknya La Iso, jadi anggota dewan. Ato tidak, ko bisa seperti bapaknya Ambo’i. sudah jadi kepala sekolah SD sekarang.”
Ayah: “Inu..tujuan bapak dan ibumu kasi duduk km malam ini, supaya ko bisa dengar baik-baik nasehat dari orang tuamu ini. Bapak sangat percaya sama kamu. Kamu itu sudah pintar, tidak merokok dan minum seperti kebanyakan pemuda dikampung ini. Kamu juga belum pernah pacaran saya lihat, dan mudah-mudahan saat kuliah juga jangan dulu.
Ibu: “iya inu..apa lagi dari mereka itu ada juga yang pulang sudah bawa anak gadisnya orang. Jangan kasihan Inu, jangan! Disana itu Inu, kota.banyak maksiatnya. Tidak ada ibu dan bapakmu yang akan melihatmu nanti, selain Allah dan dirimu sendiri. Jadi jangan sekali-kali ko tinggalkan itu sholat dan mengajimu, karena itu adalah orang tuamu yang akan selalu menegur dan menasehatimu disana.
Ayah: ”Inu..ko jaga pergaulanm. Jangan sedikit-sedikit ko kaget lihat modelnya orang disana. Jadilah seperti tukang genteng yang selalu melihat kebawah, jangan seperti tukang gali sumur yang sedikit-sedikit melihat keatas. Ko lihat orang-orang di atas, beli ini..beli itu, begini begitu, ko mau ikut juga. Ingat nak kita ini orang bawah, orang miskin Nak.”
Ibu: “iya Nak, kondisi keluargamu harus juga ko ingat. Tapi jangan karena ko miskin baru ko minder untuk belajar. Mama yakin, pasti ko lebih pintar dari pada orang-orang kota sana.
Usman:” Ah. Tidak juga. Lihat kakak ini, masih aktif ditiga organisasi tapi kuliah masih tetap lancar tuh. Malahan targetku untuk selesai kuliah 4 tahun, insyaallah tercapai. Makanya, kalau mau ikut organisasi itu harus selektif. Pilihlah organisasi yang juga mendukung kita untuk kuliah dengan baik. Intinya jika kita ingin berhasil dikuliah dan organisasi, dahulukan kuliah, nomor dua organisasi. Jadi dua-duanya sama-sama prioritas. Oh iya, sekarang di aula lagi ada beda buku. Mau ikutan?”
 
    Amanat Tersirat
Amanat tersirat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalaan di dalam karya sastra secara tersirat atau secara tidak langsung melalui tulisannya.
Amanat tersirat dalam drama ini yaitu :
Untuk selalu menjaga amanah dan kepercayaan orang tua terhadap kita. Dan bagaimana kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam pergaulan.

B.    Analisi Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang berada luar karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik pada karya sastra meliputi nilai-nilai yang berada diluar karya sastra tersebut, yang berhubungan dengan kehidupan dalam masyarakat nyata.
Drama “Alangkah Lucunya Kampus Ini” terdapat nilai pendidikan. Dalam lingkungan perguruan tinggi yaitu kampus, pendidikan dikampus sangatlah penting sebagai masa depan setiap individu manusia dan juga bangsa. Tidak semua mahasiswa-mahasiswi yang menjalani kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak berhasil menyelesakan kuliah, mencapai hasil yang memuaskan dan berlama-lama menjalani kuliah. Penyebabnya yaitu mengikuti organisasi kampus tapi mengabaikan kuliah dan ada juga ada yang bermalas-malasan mengikuti kegiatan perkuliahan. Oleh karena itu sebagai penerus bangsa dan demi masa depan secara pribadi, mahasiswa harus bersungguh-sungguh dalam menjalani kuliah agar terciptanya Sumber Daya Manusia yang bermutu dan berkualitas. Sehingga, mampu bersaing secara nasional maupun internasional.
   

Jumat, 18 Mei 2012

tugas wacana

Contoh 1:
•    Ani, Berta, dan Clara sedang duduk-duduk di beranda depan rumah pak Dadi
•    Mereka sedang asyik berbincang-bincang
•    Sebenarnya mereka sedang menanti saya dan gando, untuk belajar bersama-sama
•    Saya tiba dan menyapa mereka
•    Dengan ucapan selamat sore
•    Gando belum juga tiba
•    Mungkin dia terlambat datang karena mobilnya mogok
•    Sebentar kemudian dia pun tiba
•    “maaf saya terlambat, tadi kendaraan pada benar di jalan
•    Mungkin kalian jengkel menanti saya!
•    “Ani menjawab dengan tersenyum: tidak apa-apa, kami memaafkan kamu
•    Gando: teman-teman mari kita mulai membicarakan dan mengerjakan  pekerjaan rumah kita: pelajaran Bahasa Indonesia.
•    “kami asyik berdiskusi, dan semua tugas dapat kami selesaikan dengan baik
Contoh 2:
•    Saya dan paman masuk ke warung kopi
•    Paman memesan kopi susu
•    Saya juga mau satu
•    Keinginan kami rupanya sama
•    Paman bercita-cita untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggai agar mereka menjadi sarjana yang berguna bagi keluarga dan masyarakat serta memperoleh penghasilan yang cukup
•    Oleh karena itu, paman bekerja membanting tulang mencari uang buat biaya anak-anaknya itu
•    Saya rasa cita-cita yang demikian merupakan cita-cita semua orang tua di kampung kami melakukan hal yang sama demi masa depan anak-anak mereka
Contoh 3:
•    Eva dan Geri senang sekali mendaki gunung sebagai sport utama mereka
•    Justru Feri dan Ninon  sebaliknya; mereka senang memancing ke Situ Lembang
•    Mereka membawa perangkat pancing beberapa buah
•    Minggu yang lalu saya meminjam satu
•    Siapa yang memperoleh ikan lebih dari dua puluh kilo diberi hadiah sebuah radio transitor oleh pemilik pemancingan itu
•    Minggu yang lalu justru Feri pula yang berhasil



Contoh 4
•    Badan terasa kurang enak, tetapi dia masuk kantor juga karena banyak tugas yang harus diselesaikan dengan segera
•    Masuk atau tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai sebab bulan depan akan diadakan searah terima jabatan, baik yang digantikan maupun pengganti harus dipertemukan pada saat itu
•    Meskipun misalnya seseorang tidak ingin dipindahkan ke tempat lain, tetapi kalau surat keputusan telah dikeluarkan, maka perpindahan harus dilaksanakan selekas mungkin
•    Akhirnya dia mengetahui dengan pasti bahwa dia dipindahkan ke kota yang lebih besar dan ramai
•    Sesudah membaca surat keputusan itu dia merasa gembira sebab sebelum itu dia menduga bahwa dia akan dipindahkan di kota yang kecil dan terperinci entah di Kalimantan entah di Irian
 Contoh 5:
•    Dua orang ksatria tadi hatinya sangat panas
•    Keduanya sangat tidak dapat menerima bahwa pangkat maggala yuda sampai terpegang olehGuntur Geni
•    Oleh karena itu, pada malam itu ksatria kembar itu ingin berhadapan dengan Guntur Geni
•    Andaikata, jika dua ksatria itu kalah, mereka dapat menerimanya, sebab mereka merasa mempunyai kesaktian yang tangguh dan pemberian gurunya
Contoh 6:
•    Sudah lama Sugondo ingin mempunyai sepeda motor
•    Dia lebih sungguh-sungguh mencari
•    Jika ia mendapat uang, sebagian uangnya ditabung
•    Dengan begitu, Sugondo dapat membeli sepeda motor setelah menabung dua tahun lamanya
Contoh 7:
•    Ada sedikit ketenangan karena Pambudi ternyata luhur budinya
•    Walaupun adiknya nakal dan dia sangat marah, cintanya terhadap saudaranya tidak hilang
•    Jadi,  seandainya ada kejadian yang tidak menyenangkan, Pambudi pasti mau memikirkannya
Contoh 8:
•    Ratni menangis terisak-isak
•    Air matanya mengalir di pipinya
•    Dia segera meliputi pakaian yang perlu dibawa untuk diganti
•    Setelah itu,Ratni lalu beristirahat walau kenyataannya tidak dapat sepanjang malam


Contoh 9:
•    Kadarwati memang sedang sakit
•    Dia segan duduk-duduk karena badannya terasa lemas
•    Oleh karena itu, sudah beberapa hari dia tidak tampak berjalan-jalan
•    Justru, sudah tiga hari ini kadarwati tidak dapat bangun
Contoh 10:
•    Hubungan Lestari dengan Pujana tidak disetujui orang tuanya
•    Setiap Pujana akan bertemu Lestari pasti dihalang-halangi orang tuanya Lestari
•    Hal yang demikian itu menjadikan jengkelnya Lestari kepada orang tuanya
•    Dari pada begitu, Lestari nekat sering datang ke rumah Pujana untuk melepaskan rindunya kepada Pujana
Contoh 11:
•    Wardana sedang sedih karena isterinya meninggal dunia
•    Setelah itu, anaknya sakit
•    Belum ada seratus hari, ibunya juga dipanggil yang Mahakuasa
•    Ayah Wardana jatuh sakit terpeleset ketika hari meninggalnya ibunya
•    Serupa dengan, perahu terapung yang sedang digoyangkan keadaan oleh nasibnya Wadana
Contoh 12:
•    Darwati sering bertemu dengan Sulistiya
•    Kadang-kadang dia tampak menyadari Sulistiya
•    Jika sedang bercakap-cakap keduanya saling mengasihi dan tampak rukun
•    Sebenarnya, Darwati tertarik dengan pria tampan itu
Contoh 13:
•    Danarsih sudah menjadi isteri Sudirman
•    Sudirman lebih tenteram hatinya
•    Sudirman sering tidak pulang
•    Danarsih menjadi susah
•    Badannya menjadi kurus
•    Danarsih menjadi sakit